Selasa, 01 April 2014

Malpraktek Kedokteran Dalam Pandangan Hukum

Maraknya tuntutan hukum yang diajukan masyarakat dewasa ini, menunjukkan berkurangnya kepercayaan masyarakat terhadap dokter, selain itu sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen memicu masyarakat gemar menuntut, ataupun sebab lain yang seringkali diidentikkan dengan kegagalan upaya penyembuhan yang dilakukan dokter. Seseorang yang mengalami ganguan kesehatan pasti mendatangi seorang dokter untuk mendapatkan penyembuhan penyakit yang dideritanya. Kemudian muncul hubungan hukum antara dokter dan pasien, yang menimbulkan hak dan kewajiban. Dalam melaksanakan kewajiban bagi dokter itulah dapat menimbulkan penderitaan bagi pasien, akibat kelalaian atau kekurang hatian-hatian dokter dalam menjalankan profesinya. Dikenal dengan istilah malpraktek (malpractice) medis dan dapat membebani tanggung jawab hukum terhadap akibat buruk bagi pasien.
Berbicara mengenai malpraktik atau malpractice berasal dari kata “mal” yang berarti
buruk. Sedang kata “practice” berarti suatu tindakan atau praktik. Dengan demikian secara harfiah dapat diartikan sebagai suatu tindakan medik “buruk” yang dilakukan dokter dalam hubungannya dengan pasien. Di Indonesia, istilah malpraktik yang sudah sangat dikenal oleh para tenaga kesehatan sebenarnya hanyalah merupakan suatu bentuk medical malpractice, yaitu medical negligence yang dalam bahasa Indonesia disebut kelalaian medik. Menurut Gonzales dalam bukunya Legal Medical Pathology and Toxicology menyebutkan bahwa malpractice is the term applied to the wrongful or improper practice of medicine,which result in injury to the patient.[1]
Kasus-kasus dugaan malpraktek seperti gunung es, hanya sedikit yang muncul dipermukaan. Diantaranya kasus dugaan malpraktek yang dilakukan oleh tiga dokter yakni Dewa Ayu Saiary Prawani, Hendry Simanjuntak dan Hendy Siagian, yang dinilai bersalah melakukan penanganan pasien sehingga meninggal dunia pada tahun 2010 di Rumah Sakit Malalayang Manado. Ketiga dokter tersebut dijatuhi hukuman 10 bulan penjara oleh MA setelah sebelumnya divonis bebas oleh Pengadilan Negeri (PN) Manado, Sulawesi Utara. [2]
Kasus dokter Ayu ini tidak hanya menjadi peristiwa dugaan malpraktek semata tetapi akibat hukuman yang dijatuhkan MA ribuan dokter hampir diseluruh indonesia melakukan aksi demo menuntut kebebasan dokter ayu yang dianggap telah dikriminalisasi sehingga pelayanan terhadap masyarakat terganggu akibat tidak ada dokter yang melayani sehingga kita melihat seolah hukum tidak dapat menyelesaikan masalah.
Maka dalam hal ini kita dapat melihat bahwa hukum itu, asalnya dari kesadaran manusia sosial dimana msyarakat sebagai pasien dirumah sakit sekarang ini tidak lagi mau diperlakukan semena-mena oleh dokter yang mengobatinya namun disisi lain keberanian masyarakat yang sadar akan hukum menimbulkan gejolak sosial yang dilakukan para dokter berupa penolakan terhadap hukuman yang mungkin dijatuhkan terhadap seorang dokter maka hukum dibutuhkan agar setiap orang kembali sebagai manusia sosial yang berbudi seperti pendapat Hugo Grotius yang menyatakan bahwa kekacauan terjadi semata-mata karena gesekan-gesekan sosial dalam hidup bersama, utamanya ketika tidak ada aturan main bersama. Di situ terbuka muncul berbagai pencitraan, entah dalam bentuk pengambilan hak milik orang lain, ataupun dalam wujud ingkar janji dan lain sebagainya.

Menurut Hugo Grotius dalam filsafat hukum alamnya menyatakan bahwa hukum itu merupakan sesuatu yang timbul dari kesadaran sosialitas masyarakat sehingga hukum merupakan lampiran tambahan dalam sosiabilitas manusia untuk menjamin agar prinsip-prinsip individu sosial yang berbudi tetap tegak. Prinsip-prinsip yang dimaksud adalah[1]:
1.      Milik orang lain harus dihormati.
Hukum sangat erat hubungannya dengan keadilan, bahkan ada pendapat bahwa hukum harus digabungkan dengan keadilan, supaya benar-benar berarti sebagai hukum, kerena memang tujuan hukum itu adalah tercapainya rasa keadilan pada masyarakat. Setiap hukum yang dilaksanakan ada tuntutan untuk keadilan, maka hukum tanpa keadilan sia-sia sehingga hukum tidak lagi berharga di hadapan masyarakat.[2]
Sehingga salah satu bentuk pelaksanaan agar tercapainya keadilan bagi masyarakat adalah dengan pemerintah dalam hal ini negara haruslah menyelesaikan kasus-kasus malpraktek yang terjadi terhadap masyarakat karena dokter dengan jabatannya ketika melakukan malpraktek pada hakikatnya telah merugikan masyarakat yang menjadi konsumennya serta tidak lagi menghormati hak milik dari pada pasien yang diobatinya.
Dokter sebagai salah satu komponen utama pemberi pelayanan kesehatan kepada masyarakat mempunyai peranan yang sangat penting karena terkait langsung dengan pemberian pelayanan kesehatan dan mutu pelayanan yang diberikan. Landasan bagi dokter untuk dapat melaksanakan tindakan medis terhadap orang lain adalah ilmu pengetahuan, teknologi, dan kompetensi yang dimiliki yang diperoleh melalui pendidikan dan pelatihan. Pengetahuan yang dimilikinya, harus terus menerus dipertahankan dan ditingkatkan sesuai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dokter dengan perangkat keilmuan yang dimilikinya mempunyai karakteristik yang khas. Kekhasannya terlihat dari pembenaran yang dibenarkan oleh hukum yaitu diperkenankannya melakukan tindakan medis terhadap tubuh manusia dalam upaya memelihara dan meningkatkan derajat kemanusiaan dengan mana tubuh pasien merupakan hak milik pasien yang mesti dijaga tanpa ada kerusakan secara disengaja maupun karena kelalaian dalam proses pengobatan.[3]
Ada berbagai istilah yang sering digunakan di Indonesia antara lain, malpraktek, malapraktek, malapraktik, malpraktik dan sebagainya. Akan tetapi, istilah yang benar menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Departemen Pendidikan Nasional yang diterbitkan Balai Pustaka adalah “malapraktik”, sedangkan menurut kamus kedokteran adalah “malapraktek”. Secara harfiah istilah “malpraktik” artinya praktek yang buruk (bad practice), praktek yang jelek. Malapraktek adalah praktik kedokteran yang dilakukan salah, tak tepat, menyalahi Undang Undang, kode etik (Kamus Kedokteran Indonesia, 2008, 500). Malpraktek adalah pengobatan suatu penyakit atau perlukaan yang salah kerena ketidaktahuan, kesembronoan atau kesengajaan kriminal. Istilah malapraktek di dalam hukum kedokteran mengandung arti praktek dokter yang buruk.[4]
Malpraktik menurut Azrul Azwar memiliki beberapa arti. Pertama, malpraktik adalah setiap kesalahan profesional yang diperbuat oleh dokter, oleh karena pada waktu melakukan pekerjaan profesionalnya, tidak memeriksa, tidak menilai, tidak berbuat atau meninggalkan hal-hal yang diperiksa, dinilai, diperbuat atau di lakukan oleh dokter pada umumnya, di dalam situasi dan kondisi yang sama. Kedua, malpraktik adalah setiap kesalahan yang diperbuat oleh dokter, oleh karena melakukan pekerjaan kedokteran di bawah standar yang sebenarnya secara rata-rata dan masuk akal, dapat di lakukan oleh setiap dokter dalam siatuasi atau tempat yang sama. Ketiga, malpraktik adalah setiap kesalahan profesional diperbuat oleh seorang dokter, yang di dalamnya termasuk ke-salahan karena perbuatan-perbuatan yang tidak masuk akal serta kesalahan karena keterampilan ataupun kesetiaan yang kurang dalam menyelenggarakan kewajiban atau dan atau pun keper-cayaan profesional yang dimilikinya.[5]
Menurut Munir Fuady, malpraktik memiliki pengertian yaitu setiap tindakan medis yang dilakukan dokter atau orang-orang di bawah pengwasannya, atau penyedia jasa kesehatan yang dilakukan terhadap pasiennya, baik dalam hal diagnosis, terapeutik dan manajemen penyakit yang dilakukan secara melanggar hukum, kepatutan, kesusilaandan prinsip-prinsip profesional baik dilakukan dengan sengaja atau karena kurang hati-hatiyang menyebabkan salah tindak rasa sakit, luka, cacat, kerusakan tubuh, kematian dan kerugian lainnya yang menyebabkan dokter atau perawat harus bertanggungjawab baik secara administratif, perdata maupun pidana.[6]
Akibat malpraktek medis yang menjadi tindak pidana harus berupa akibat yang sesuai dengan yang ditentukan oleh Undang-Undang. Akibat berupa kematian, luka berat, rasa sakit atau luka yang mendatangkan penyakit, atau luka yang menghambat tugas dan mata pencaharian dapat membentuk pertanggungjawaban pidana yang wujudnya bukan sekedar penggantian kerugian (perdata) saja tetapi boleh jadi pemidanaan.[7]

A.     Kealpaan yang Menyebabkan Kematian
Pasal 359 KUHP selalu didakwakan terhadap kematian yang diduga disebabkan kesalahan dokter. Pasal 359 merumuskan “barangsiapa karena kesalahannya menyebabkan orang lain mati” disamping adanya sikap batin culpa seta kalimat “menyebabkan orang lain mati”, yakni:
a. Harus ada wujud perbuatan;
b. Adanya akibat perbuatan berupa kematian; dan
c. Adanya hubungan kausal antara wujud perbuatan dengan akibat kematian.;
Sikap batin culpa bukan ditujukan pada perbuatan, tetapi pada akibat kematian. Culpa dapat dibedakan tiga macam, berdasarkan sudut tingkatannya:
a. Kelalaian yang tidak disadari, pembuat tidak menyadari bahwa perbutan yang hendak dilakukan dapat menimbulkan akibat terlarang dalam hukum. Hubungannya dengan pelayanan kesehatan, dokter tidak mengetahui bahwa perbuatan yang hendak diperbuatnya dapat mengakibatkan kematian;
b. Kealpaan yang disadari, adanya kesadaran terhadap timbulnya akibat dari tindakan medis yang hendak diwujudkan. Dokter meyakini bahwa akibat tersebut tidak akan timbul, namun setelah tindakan medis dilakukan ternyata akibat tersebut timbul; dan
c. Termasuk dalam kealpaan yang disadari, telah disadari bahwa akibat bisa timbul, namun yakin tidak akan timbul. Setelah tindakan dilakukan dan timbul gejala-gejala yang mengarah pada timbulnya akibat. Telah berbuat yang cukup untuk menghindarinya, namun kenyataanya setelah tindakan akibatpun timbul. [8]
B.     Kealpaan yang Menyebabkan Luka-Luka
Pasal 360 KUHP lazim digunakan untuk menuntut dokter atas dugaan malpraktek medis. Pasal 359 digunakan bila menyebabkan kematian. Dua macam tindak pidana menurut Pasal 360 yakni: (1) “...karena kesalahannya menyebabkan orang lain mendapat luka berat...” (2) “...karena kesalahannya menyebabkan orang lain luka-luka sedemikian rupa sehingga timbul penyakit atau halangan menjalankan pekerjaan jabatan atau pencarian selama waktu tertentu...”
Dari Ayat (1) dapat dirinci unsur-unsurnya:
a)      Adanya kelalaian;
b)      Adanya wujud perbuatan;
c)      Adanya akibat luka berat;
d)     Adanya hubungan kausal antara luka berat dengan wujud perbuatan.
Ayat (2) mengandung unsur-unsur:
e)      Adanya kelalaian;
f)       Adanya wujud perbuatan;
g)      Adanya akibat: luka yang menimbulkan penyakit; luka yang menjadikan halangan menjalankan pekerjaan jabatan atau pencaharian selama waktu tertentu;
h)      Adanya hubungan kausal antara perbuatan dengan akibat.
Kalimat “menyebabkan orang luka”, mengandung tiga unsur, yakni:
1.      Adanya wujud perbuatan sebagai penyebab;
2.      Adanya akibat orang lain luka;
3.      Adanya hubungan kausal antara wujud perbuatan dengan
akibat orang lain luka.
Luka adalah perbuatan sedemikian rupa pada permukaan tubuh sehingga berbeda dengan bentuk semula. Pasal 360 menyebutkan tiga macam luka, yaitu:
a. Luka berat;
b. Luka yang menimbulkan penyakit;
c. Luka yang menjadikan halangan menjalankan pekerjaan jabatan atau pencarian selama waktu tertentu.
Pasal 90 menyebutkan macam-macam luka berat:
a. Jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali, atau yang menimbulkan bahaya maut;
b. Tidak mampu terus-menrus untuk menjalankan tugas jabatan atau pekerjaan pencaharian;
c. Kehilangan salah satu pancaindra;
d. Mendapat cacat berat;
e. Menderita sakit lumpuh;
f. Terganggu daya pikir selama empat minggu lebih;
g. Gugur atau matinya kandungan seorang perempuan.
Dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran mengenai perbuatan yang dapat dipidana antara lain:

1.      Melakukan praktek kedokteran tanpa memiliki Surat Tanda Register
             (Pasal 75 ayat (1));
2.      Melakukan Praktek kedokteran tanpa memiliki Surat Ijin Praktek (Pasal 76);
3.      Menggunakan identitas berupa gelar atau bentuk lain yang menimbulkan kesan    bagi masyarakat seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi (Pasal 77);
4.      Menggunakan alat, metode atau cara lain dalam memberikan
pelayanan kepada masyarakat yang menimbulkan kesan seolah-olah yang               bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi (Pasal 78);
5.      Tidak memasang papan nama (Pasal 79 huruf a);
6.      Tidak membuat rekam medis (Pasal 79 huruf b);
7.      Tidak memenuhi kewajiban sesuai dengan ketentuan Pasal 51 (Pasl 79 huruf c), dan;
8.      Korporasi atau perseorangan yang mempekerjakan dokter atau dokter gigi tanpa tidak memiliki surat tanda registrasi dan ijin praktek (Pasal 80).
Apabila seseorang pada waktu melakukan perbuatan melawan hukum itu tahu betul perbuatannya akan berakibat suatu keadaan tertentu yang merugikan pihak lain dapat dikatakan bahwa pada umumnya seseorang tersebut dapat dipertanggungjawabkan. Syarat untuk dapat dikatakan bahwa seorang tahu betul hal adanya keadaan-keadaan yang menyebabkan kemung-kinan akibat itu akan terjadi. Kesalahan bertindak ini terjadi karena kurangnya ketelitian dokter di dalam melakukan observasi terhadap pasien sehingga terjadilah hal yang tidak diinginkan bersama. Ketidaktelitian ini merupakan tindakan yang masuk di dalam kategori tindakan melawan hukum hukum, sehingga menyebabkan kerugian yang harus ditanggung oleh pasien.[9]
Sehingga dalam menghormati hak pasien untuk mendapatkan pelayanan medis terhadap tubuhnya yang merupakan hak setiap individu maka dokter haruslah memenuhi berbagai syarat untuk dapat menjalankan profesinya sebagai dokter karena jika diabaikan maka dokter telah mengabaikan hak dari pasien yang pada akhirnya akan menimbulkan malpraktek dalam dunia kedokteran.
Lahirnya UU No 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran mengatur mengenai tata laksana praktik dokter di Indonesia. Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi seorang dokter, agar berwenang menjalankan praktik kedokteran, tidak hanya keahlian yang diperoleh dari pendidikan dokter. Syarat administrasi tersebut antara lain:[10]
a.       Memiliki Surat Tanda Registrasi (STR) dokter atau dokter gigi yang diterbitkan oleh Konsil Kedokteran Indonesia yang berlaku 5 tahun dan setiap 5 (lima) tahun di registrasi ulang (Pasal 29);
b.      Dokter lulusan Luar Negeri yang praktik di Indonesia harus lulus evaluasi. Bagi dokter asing selain lulus evaluasi harus memiliki izin kerja di Indonesia. Setelah memenuhi syarat lainnya, baru dokter asing dapat diberikan Surat Tanda Registrasi (STR) (Pasal 30);
c.       Memiliki Surat Izin Praktik (SIP) yang dikeluarkan oleh pejabat kesehatan yang berwenang di kabupaten atau kota tempat praktik (Pasal 36 jo 37).
Untuk dokter spesialis, ada Peraturan Menteri Kesehatan No.561/Menkes/Per/X/1981 tentang Pemberian Izin Menjalankan pekerjaan dan izin Praktik bagi Dokter Spesialis. Tiga macam surat izin Praktik dokter:[11]
a.       Surat izin dokter (SID) adalah izin yang dikeluarkan bagi dokter spesialis yang menjalankan pekerjaan sesuai bidang profesinya di wilayah NKRI.
b.      Surat izin praktik (SIP) adalah izin yang dikeluarkan bagi dokter spesialis yang menjalankan pekerjaan sesuai dengan bidang profesinya sebagai swasta perorangan di samping tugas/fungsi lain pada pemerintah atau unit pelayanan kesehatan swasta.
c.       Surat izin praktik (SIP) perorangan semata-mata adalah izin yang dikeluarkan bagi dokter spesialis yang menjalankan pekerjaan sesuai dengan profesinya sebagai swasta perseorangan semata-mata tanpa tugas pada pemerintah atau unit pelayanan kesehatan swasta.
Masing-masing surat izin dokter dan surat izin praktik berlaku 5 (lima) tahun dan dapat diperbaharui dengan mengajukan permohonan kembali. Dengan dipenuhinya syarat administrasi dokter berwenang melakukan pelayanan medis karena dimilikinya SIP, SID, STR.
2.    Kesetiaan pada janji (Kontrak harus dihormati)
Tidak mengherankan jika banyak putusan profesi dokter yang menyatakan tidak ada malpraktik yang dilakukan dokter seringkali ditanggapi secara sinis oleh pengacara. Menyadari munculnya perbedaan pendapat ini yang seharusnya tidak perlu terjadi, perlu dicari solusi untuk menghilangkannya. Salah satu cara adalah dengan merumuskan bersama mengenai pengertian tentang apa yang dimaksud dengan malpraktik tersebut. Di samping itu perlu pula dicari kriteria mengenai batasan kewenangan dokter dalam melakukan profesinya, baik batasan secara hukum, moral, etik maupun disiplin (segi profesi), sehingga bila seorang dokter dalam melaksanakan tugas profesinya sudah memenuhi semua persyaratan yang telah ditentukan, sungguh pun ada pihak yang merasa dirugikan atas tindakan dokter, masyarakat tidak dengan seenaknya mengatakan bahwa dokter telah melakukan malpraktik.[12]
Malpraktek medis selain dapat dituntut secara pidana juga dapat dituntut secara perdata dalam bentuk pembayaran ganti rugi. Dasar hukum malpraktek perdata atau sipil adalah transaksi atau kontrak terapeutik antara dokter dengan pasien yaitu hubungan dokter dengan pasien, dimana dokter bersedia memberikan pengobatan atau perawatan medis kepada pasien dan pasien bersedia membayar sejumlah imbalan kepada dokter. [13]
Tanggungjawab di bidang hukum perdata dapat ditemukan dalam setiap pelayanan kesehatan. Hal ini dapat dipahami karena dalam setiap pelayanan kesehatan selalu terjadi hubungan antara dua pihak sebagai subyek hukum, dimana masing-masing pihak memiliki hak dan kewajiban yang sama. Maksud dengan dua pihak disini adalah dokter dengan pasien. Hubungan antara dokter dengan pasien diatur dalam suatu perjanjian yang syaratnya harus dipenuhi secara umum sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 BW. Hubungan dokter dengan pasien dalam hal perawatan kesehatan ini lazim disebut sebagai transaksi terapeutik. Dalam transaksi terapeutik ini dokter berkewajiban memberikan pelayanan sebaik mungkin sesuai dengan standar profesi (medik) yang telah di tentukan oleh undang-undang.
Pengertian Perjanjian terapeutik adalah perjanjian antara dokter dengan pasien yang memberikan kewenangan kepada dokter untuk melakukan kegiatan memberikan pelayanan kesehatan kepada pasien berdasarkan keahlian dan keterampilan yang dimiliki oleh dokter tersebut.
Dalam Mukadimah Kode Etik Kedokteran Indonesia tertuang dalam Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 434 /Men.Kes /X / 1983 tentang Berlakunya Kode Etik Kedokteran Indonesia Bagi Para Dokter di Indonesia, mencantumkan tentang perjanjian terapeutik sebagai berikut:
Yang dimaksud perjanjian terapeutik adalah hubungan antara dokter dengan pasien dan penderita yang dilakukan dalam suasana saling percaya (konfidensial), serta senantiasa diliputi oleh segala emosi, harapan dan kekhawatiran makhluk insani”
Pengertian transaksi terapeutik ada beberapa definisi dari sarjana, yaitu :
1.   H.H. Koeswadji :
Transaksi terapeutik adalah perjanjian (Verbintenis) untuk mencari atau menentukan terapi yang paling tepat bagi pasien oleh dokter.


2.   Veronica Komalawati :
Transaksi terapeutik adalah hubungan hukum antara dokter dan pasien dalam pelayanan medis secara professional, didasarkan kompetensi yang sesuai dengan keahlian dan ketrampilan tertentu di bidang kedokteran.[14]
Disamping melahirkan hak dan kewajiban, hubungan dokter dan pasien juga membentuk pertanggungjawaban hukum. Bagi pihak dokter, prestasi berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu dalam perlakuan medis yang ditujukan bagi kepentingan kesehatan pasien adalah kewajiban hukum yang sangat mendasar dalam kontrak terapeutik. Dipandang dari sudut hukum perdata, malpraktek medis terjadi bila perlakuan salah yang dilakukan oleh dokter dalam hubungannya dengan pemberian pelayanan medis kepada pasien menimbulkan kerugian perdata. Kerugian kesehatan fisik, jiwa, maupun nyawa pasien akibat salah perlakuan oleh dokter merupakan unsur penting timbulnya malpraktek medis.
Dengan timbulnya akibat hukum kerugian perdata terbentuklah pertanggung jawaban hukum perdata bagi dokter terhadap kerugian yang timbul. Hubungan hukum dokter dan pasien timbul berdasarkan kesepakatan dan Undang-undang. Perikatan karena kesepakatan membawa suatu keadaan wanprestasi, sedangkan pelanggaran hukum dokter atas kewajiban hukum dokter karena undang-undang disebut perbuatan melawan hukum (onrechmatigedaad) dalam Pasal 1365 KUHPerdata. Selain pelanggaran hukum karena kesepakatan, dapat pula terjadi pelanggaran kewajiban hukum karena UU yang disebut Zaakwaarneming. Zaakwaarneming adalah melakukan sesuatu dengan diam-diam dan sukarela bagi kepentingan orang lain tanpa persetujuan dan sepengetahuannya menimbulkan kewajiban pelaksanaan dengan sebaik-baiknya sehingga melahirkan tanggungjawab terhadap akibat yang timbul apabila ada kesalahan dalam pelaksanaan sesuatu tersebut (Pasal 1354 BW). [15]
3.      Harus ada ganti rugi untuk setiap kerugian yang diderita
Doktrin adalah pendapat para ahli hukum dan landasan penggunaan doktrin yaitu asas hukum yang mengedepankan communis opinio doctorum atau seseorang tidak boleh menyimpang dari pendapat umum para sarjana atau ahli hukum. Doktrin yang berlaku di dalam ilmu kesehatan yaitu Res Ipsa Loquitur artinya doktrin yang memihak pada korban. Pembuktian dalam hukum acara perdata yang menentukan bahwa pihak korban dari suatu perbuatan melawan hukum dalam bentuk kelalaian tidak perlu membuktikan adanya unsur kelalaian tersebut, cukup menunjukkan faktanya. Tujuannya adalah untuk mencapai keadilan. Doktrin ini biasanya digunakan di dalam kasus-kasus malpraktik kedokteran.[16]
Syarat berlakunya Res Ipsa Loquitur adalah, pertama, kejadian tersebut tidak biasanya terjadi; kedua, kerugian tersebut tidak ditimbulkan pihak ketiga; ketiga, instrumen yang di gunakan di dalam pengawasan pelaku tindakan; dan keempat, bukan kesalahan korban. Doktrin ini dirasa lebih memberikan kedilan pada pasien, mengingat pasien adalah orang awam bidang ilmu kedokteran. Sangatlah bertentangan dengan asas keadilan jika pasien yang menjadi korban suatu tindakan kelalaian, masih harus membuktikan terjadinya kelalaian. Padahal pasien sama sekali tidak tahu proses bagaimana kelalaian tersebut terjadi, karena ia telah mempercayakan hidup dan kesehatannya pada dokter yang dianggap lebih ahli. Untuk itu beban pembuktian ini oleh doktrin Res Ipsa Loquitur dibebankan kepada petugas medis yang dianggap lebih tahu proses dan standar yang digunakan di dalam melakukan tindakan medis tersebut. Pasien tidak perlu membuktikan/membeberkan proses terjadinya kelalaian, cukup memperlihatkan akibat yang dideritanya saja. Dengan demikian, doktrin Res Ipsa Loquitur sebenarnya merupakan semacam bukti sirkum-tansial (circumstantial evidence), yakni suatu bukti tentang suatu fakta dimana faktafaktanya dapat digunakan untuk menarik kesimpulan.[17]
Dalam sistem hukum Indonesia yang salah satu komponennya merupakan satu hukum substantif, diantara hukum positif yang berlaku tidak dikenal adanya istilah malpraktik, baik dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 tentang kesehatan maupun dalam Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Memperhatikan Undang-Undang No 23 Tahun 1992 khususnya pada Pasal 54 dan 55 disebut sebagai kesalahan atau kelalaian dokter. Sedangkan pada Undang-Undang No. 29 Tahun 2004, khususnya pada Pasal 84 dikatakan sebagai pelanggaran disiplin dokter. Pegangan pokok yang dipakai untuk menetapkan adanya malpraktik cukup jelas yakni adanya kesalahan profesional yang dilakukan oleh seorang dokter pada waktu melakukan perawatan dan ada pihak lain yang dirugikan atas tindakan dokter tersebut. Kenyataannya ternyata tidak mudah untuk menetapkan kapan adanya kesalahan profesional tersebut.
Bila terjadi penyimpangan dalam ketentuan pelayanan kesehatan, pasien dapat menuntut haknya yang dilanggar oleh pihak penyedia jasa kesehatan dalam hal ini rumah sakit dan dokter/tenaga kesehatan. Dokter/tenaga kesehatan dan rumah sakit dapat dimintakan tanggung jawab hukum, apabila melakukan kelalaian atau kesalahan yang menimbulkan kerugian bagi pasien sebagai konsumen. Pasien dapat menggugat tanggung jawab hukum kedokteran (medical liability), dalam hal dokter tersebut berbuat kesalahan/kelalaian. Dokter tidak dapat berlindung dengan dalih perbuatan yang tidak sengaja, sebab kesalahan/kelalaian dokter yang menimbulkan kerugian terhadap pasien menimbulkan hak bagi pasien untuk menggugat ganti rugi.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan memberikan perlindungan hukum, baik kepada pasien sebagai konsumen dan produsen jasa pelayanan kesehatan diantaranya Pasal 53, 54, dan 55 UU No 23 Tahun 1992. Jika terjadi sengketa dalam pelayanan kesehatan, untuk menyelesaikan perselisihan harus mengacu pada UU No 23 Tahun 1992 dan UUPK serta prosesnya melalui lembaga perdilan, mediasi. Dalam hal terjadi sengketa antara produsen jasa pelayanan kesehatan dengan konsumen jasa pelayanan, tersedia 2 jalur, yaitu jalur litigasi dan jalur non litigasi yaitu penyelesaian sengketa melalui peradilan. Proses penyelesaian dari peselisihan atau kelalaian kesehatan dapat dilakukan di luar pengadilan dan di pengadilan berdasarkan kesepakatan para pihak yang berselisih. Penyelesaian yang paling sering dilakukan adalah melalui mediasi di luar pengadilan dengan sistem Alternative Dispute Resolution (ADR).[18]
Seorang dokter baru dihadapkan ke pengadilan bila sudah timbul kerugian bagi pasien. Kerugian ini timbul akibat pelanggaran kewajiban di mana sebelumnya telah dibuat suatu persetujuan. Standar pelayanan medis dibuat berdasarkan hak dan kewajiban dokter, baik yang diatur kode etik maupun yang diatur perundang-undangan. Dengan diundangkannya Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan, ancaman pidana terhadap kesalahan atau kelalaian yang dilakukan oleh dokter yang mengakibatkan pasien menderita cacat atau luka-luka, tidak lagi semata-mata mengacu pada ketentuan Pasal 359, 360, dan 361 KUHP, karena dalam Undang-Undang kesehatan telah dirumuskan ancaman pidananya. Ancaman tersebut dimuat dalam pasal 82 Undang-Undang No 23 Tahun 1992 tentang kesehatan pada ayat (1) huruf (a) disebutkan “barang siapa yang tanpa keahlian dan kewenangan dengan sengaja melakukan pengobatan atau perawatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (4) “dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan atau pidana denda paling banyak seratus juta rupiah”
Malpraktek medis selain dapat dituntut secara pidana juga dapat dituntut secara perdata dalam bentuk pembayaran ganti rugi. Dalam pelayanan kesehatan, bila pasien atau keluarganya menganggap bahwa dokter telah melakukan perbuatan melawan hukum, pasien atau keluarganya dapat mengajukan tuntutan ganti rugi dengan ketentuan Pasal 55 Undang-Undang No 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan.
Dua kemungkinan yang dapat dipakai untuk dijadikan sebagai dasar yuridis gugatan malpraktek medis yaitu:[19]
1.                   Gugatan berdasarkan adanya wanprestasi terhadap suatu kontrak;
Pertanggungjawaban dokter akibat malpraktek medis karena wanprestasi lebih luas dari pertangggungjawaban karena perbuatan melawan hukum. Hal tersebut berdasar Pasal 1236 jo 1239 KUHPerdata, selain penggantian kerugian, pasien juga dapat menuntut biaya dan bunga.
Wanprestasi dalam pelayanan medis timbul karena tindakan seorang dokter berupa pemberian jasa perawatan yang tidak patut sesuai dengan apa yang diperjanjikan. Perawatan yang tidak patut dapat berupa tindakan kekurang hati-hatian, atau akibat kelalaian dari dokter yang bersangkutan sehingga menyalahi tujuan terapeutik.
Wanprestasi dalam pelayanan medis terjadi, bila memenuhi unsur:
a.       Hubungan dokter dengan pasien terjadi berdasarkan kontrak terapeutik;
b.      Dokter telah memberikan pelayanan kesehatan yang tidak patut yang menyalahi tujuan kontrak terapeutik;
c.       Pasien menderita kerugian akibat tindakan dokter yang bersangkutan.
Hubungan hukum antara dokter dan pasien, dilandasi sikap saling percaya antara kedua belah pihak. Kesembuhan merupakan tujuan akhir kontrak terapeutik tetapi bukan objek kewajiban dokter yang dapat dituntut oleh pasien. Kewajiban pokok seorang dokter adalah inspanning, yakni suatu usaha keras dari dokter yang harus dijalankan untuk menyembuhkan kesehatan pasien. [20]
Pasien yang tidak sembuh tidak dapat dijadikan alasan wanprestasi bagi dokter selama perlakuan medis yang dilakukan tidak menyimpang dari standar profesi, karena hubungan hukum pasien dan dokter bukan hubungan yang menuntut pada hasil pelayanan medis,melainkan kewajiban untuk memberikan perlakuan medis sebaikbaiknya dimana dokter tidak mampu menjamin hasil akhir.
Hasil dari perlakuan penyembuhan, pemulihan, atau pemeliharaan kesehatan pasien tidak menjadi kewajiban hukum bagi dokter, melainkan suatu kewajiban moral belaka akibatnya bukan sanksi hukum tetapi sanksi moral dan sosial. Sepanjang perlakuan medis terhadap pasien dilakukan sesuai standar profesi dan standar prosedur operasional meskipun tanpa hasil penyembuhan yang diharapkan tidak melahirkan malpraktek medis dari sudut hukum.
Perlakuan medis dokter yang menyalahi standar profesi maka dokter dianggap melakukan malpraktek medis. Dengan syarat, tidak sembuh atau lebih parah penyakit dari pasien setelah mendapat perlakuan medis dari sudut standar profesi. Jika hal tersebut merupakan akibat langsung dari salah perlakuan medis oleh dokter melahirkan malpraktek medis, pasien berhak menuntut ganti kerugian atas kesalahan perlakuan medis tersebut.
Pelayanan medis dengan resiko tinggi wajib dibuat dalam bentuk tertulis untuk dimintakan persetujuan (informed consent). Tujuannya untuk membebaskan risiko hukum bagi timbulnya akibat yang tidak dikehendaki.
Bentuk wanprestasi dokter dalam pelayanan medis yaitu:[21]
a.       Tidak memberikan pelayanan kesehatan sama sekali seperti yang diperjanjikan;
b.      Memberikan pelayanan kesehatan tidak sebagaimana mestinya,tidak sesuai kualitas     dan kuantitas dengan yang diperjanjikan;
c.       Memberikan pelayanan kesehatan tetapi terlambat tidak tepat waktu sebagaimana telah diperjanjikan;
d.      Memberikan pelayanan kesehatan lain dari pada yang diperjanjikan semula.
Setiap wanprestasi terkandung aspek kerugian bagi pihak lain. Unsur kerugian terdapat dalam kalimat “penggantian biaya, rugi dan bunga”. Akibat kerugian pasien ini menjadi pangkal penilaian terhadap ada atau tidaknya malpraktek medis. Setelah terbukti adanya kerugian, kemudian dilihat bagaimana wujud perlakuan medis yang dilakukan oleh dokter. Wujud kerugian akibat wanprestasi berupa kerugian materiil yang dapat diukur dengan nilai uang, terutama biaya perawatan, biaya perjalanan dan biaya obat-obatan dengan syarat kerugian ini harus dapat dibuktikan.
2.      Gugatan berdasarkan perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad)
Tercantum dalam bunyi Pasal 1365 KUHPerdata:
“Tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menimbulkan kerugian itu untuk mengganti kerugian tersebut”.
Dari bunyi pasal tersebut, diartikan bila perlakuan medis dokter menyimpang dari standar profesi dan menimbulkan kerugian pasien termasuk kategori perbuatan melawan hukum. Kerugian harus  benar diakibatkan perlakuan medis yang salah dan harus dapat dibuktikan baik dari sudut ilmu hukum maupun ilmu kedokteran.
Malpraktek medis yang telah masuk lapangan hukum pidana atau menjadi kejahatan sekaligus merupakan perbuatan melawan hukum yang dapat dituntut pertanggungjawaban perdata terhadap kerugian yang ditimbulkan melalui pasal 1365 jo 1370 dan 1371 KUHPerdata. Indikator malpraktek medis masuk dalam perbuatan melawan hukum, yaitu malpraktek medis telah masuk ke ranah hukum pidana otomatis termasuk perbuatan melawan hukum.
Dasar hukum kedua untuk melakukan gugatan adalah perbuatan melawan hukum. Jika terdapat fakta-fakta yang berwujud suatu perbuatan melawan hukum, walaupun di antara pihak-pihak tidak terdapat suatu perjanjian. Untuk mengajukan gugatan harus dipenuhi 4 (empat) syarat sebagaimana diatur dalam pasal 1365 KUHPerdata:
a.       Pasien harus mengalami kerugian;
b.      Ada kesalahan;
c.       Ada hubungan kausal anatara kesalahan dengan kerugian; dan
d.      Perbuatan itu melawan hukum.
Perbuatan melawan hukum adalah perbuatan aktif maupun pasif yang dilakukan baik sengaja maupun kealpaan yang bertentangan dengan hak orang lain, dengan kewajiban hukumnya sendiri dengan nilai-nilai kesusilaan yang harus diindahkan dalam pergaulan masyarakat. Mencakup pula syarat untuk menuntut ganti kerugian oleh perbuatan melawan hukum yakni harus ada perbuatan dan sifat melawan hukum. [22]
Empat syarat yang harus dipenuhi untuk menuntut kerugian adanya perbuatan melawan hukum:
a.       Adanya perbuatan yang termasuk kualifikasi perbuatan melawan hukum;
b.      Adanya kesalahan si pembuat;
c.       Adanya akibat kerugian;
d.      Adanya hubungan perbuatan dengan akibat kerugian orang lain.
Setiap wanprestasi terkandung aspek kerugian bagi pihak lain. Unsur kerugian terdapat dalam kalimat “penggantian biaya, rugi dan bunga”. Akibat kerugian pasien ini menjadi pangkal penilaian terhadap ada atau tidaknya malpraktek medis. Setelah terbukti adanya kerugian, kemudian dilihat bagaimana wujud perlakuan medis yang dilakukan  oleh dokter. Wujud kerugian akibat wanprestasi berupa kerugian materiil yang dapat diukur dengan nilai uang, terutama biaya perawatan, biaya perjalanan dan biaya obat-obatan dengan syarat kerugian ini harus dapat dibuktikan.
4.      Harus ada hukuman untuk setiap pelanggaran
Penilaian mengenai sejauh mana tindakan dokter jika terjadi kesalahan atau kelalaian dalam perawatan atau pelayanan kesehatan dapat dilihat dari dua sisi, pertama dinilai dari sudut etik dan dari sudut hukum. Dari segi etika profesi, dengan memilih profesi di bidang kesehatan sudah disyaratkan adanya kecermatan yang tinggi termasuk berbagai ketentuan yang berlaku bagi dokter. Dengan tidak mematuhi peraturan itu saja sudah dianggap telah berbuat kesalahan.
Kritik masyarakat terhadap profesi kedokteran di Indonesia akhir-akhir ini makin sering muncul di berbagai media, baik media cetak maupun elektronik. Dunia kedokteran yang dahulu seakan tak terjangkau oleh hukum, dengan berkembangnya kesadaran masyarakat akan kebutuhan tentang perlindungan hukum yang merupakan hak dasar sosial (the right to health care) dan hak individu (the right of self determination), menjadikan dunia pengobatan bukan saja sebagai hubungan keperdataan, bahkan sering berkembang menjadi persoalan pidana. Banyak persoalan malpraktik atas kesadaran hukum msyarakat diangkat menjadi masalah perdata. Misalnya kasus Prita Mulyasari, dimana Prita pada awalnya berobat ke RS. Omni Internasional tentang keluhan yang di rasa. Dari hasil tes laboratorium menunjukan positif demam berdarah (keluhan panas tiga hari, sakit kepala berat, mual, muntah, lemas, sakit tenggorokan dan tidak ada nafsu makan). Namun setelah diminta hasil tesnya, terjadilah awal sengketa, karena antara hasil tes dan diagnosa tidak sesuai. Prita dimenangkan karena dukungan masyarakat dengan “Koin Prita” yang hampir setiap hari diberitakan dalam media cetak dan elektronik.[23]
Kelemahan sistem hukum kesehatan di Indonesia karena Indonesia belum memiliki hukum normatif (Undang-Undang) tentang malpraktek medis sehingga pengaturan dan ketentuan yuridis bila terjadi malpraktek tidak ada. Permasalahan lain yakni, kesediaan dokter yang dijadikan saksi ahli dalam suatu kasus dugaan malpraktek karena diantara dokter itu sendiri terdapat perlindungan korps dan saling berusaha untuk tidak membeberkan kesalahan dokter lainnya. Namun, tidak berarti upaya-upaya hukum untuk menuntut hak pasien berkaitan dengan kasus malpraktek selamanya akan gagal. Pasien dengan bekal pembuktian yang kuat dan bila dokter benar-benar terbukti melakukan malpraktek, pasti hak pasien akan diterima kembali. Oleh karena itu, pasien yang merasa memiliki keluhan atas pelayanan medis yang diterimanya di institusi kesehatan, harus mengumpulkan informasi sebanyak mungkin agar upaya menuntut keadilan atas haknya tidak sia-sia.
Meskipun begitu hukum pidana mengenal adanya alasan penghapus pidana dalam pelayanan kesehatan, yaitu: alasan pembenar dan alasan pemaaf. Namun tidak serta merta alasan pemenar dan pemaaf tersebut menghapuskan suatu tindak pidana bagi profesi dokter. Persetujuan (informed consent) sebagai peniadaan pidana. Tidak berarti bahwa bagi profesi dokter dibebaskan dari segala tanggung jawab pidana, sebab alasan pembenar dan pemaaf bagi tindakan dokter, hanya terdapat pengecualian tertentu seperti dalam Pasal 15 Undang-Undang No 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan. Tenaga kesehatan dibenarkan melakukan abortus berdasarkan indikasi medis untuk menyelamatkan ibu hamil. Alasan penghapus pidana bagi tindakan yang dilakukan oleh dokter, yaitu alasan penghapus pidana yang berada di luar undang-undang. Bagi setiap dokter yang melakukan perawatan, jika terjadi penyimpangan terhadap suatu kaidah pidana, sepanjang doker yang bersangkutan melakukannya dengan memenuhi standar profesi dan standar kehati-hatian, dokter tersebut masih tetap dianggap telah melakukan peristiwa pidana, hanya saja kepadaanya tidak dikenakan suatu tindak pidana.
Seorang dokter baru dihadapkan ke pengadilan bila sudah timbul kerugian bagi pasien. Kerugian ini timbul akibat pelanggaran kewajiban di mana sebelumnya telah dibuat suatu persetujuan. Standar pelayanan medis dibuat berdasarkan hak dan kewajiban dokter, baik yang diatur kode etik maupun yang diatur perundang-undangan. Dengan diundangkannya Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan, ancaman pidana terhadap kesalahan atau kelalaian yang dilakukan oleh dokter yang mengakibatkan pasien menderita cacat atau luka-luka, tidak lagi semata-mata mengacu pada ketentuan Pasal 359, 360, dan 361 KUHP, karena dalam Undang-Undang kesehatan telah dirumuskan ancaman pidananya. Ancaman tersebut dimuat dalam pasal 82 Undang-Undang No 23 Tahun 1992 tentang kesehatan pada ayat (1) huruf (a) disebutkan “barang siapa yang tanpa keahlian dan kewenangan dengan sengaja melakukan pengobatan atau perawatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (4) “dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan atau pidana denda paling banyak seratus juta rupiah”[24]
Pertanggungjawaban seorang dokter yang diduga melakukan malpraktek atau kelalaian medis maka langkah pertama yang dilakukan adalah dokter diperiksa dan diputuskan oleh Majelis Kehormatan Etika Kedokteran (MKEK), dengan memberi sanksi antara lain sebagai berikut:
a.       Peringatan lisan
b.      Peringatan tertulis
c.       Pemecatan sementara sebagai anggota IDI yang diikuti dengan mengajukan secara tertulis kepada kepala dinas kesehatan kabupaten/kotamadya untuk mencabut ijin praktek selama: 3 (tiga) bulan untuk pelanggaran ringan, 6 (enam) bulan untuk pelanggaran sedang, 12 (dua belas) bulan untuk pelanggaran berat dan dilakukan pemecatan tetap apabila 3 (tiga) kali peringatan lisan, yang dilanjutkan 3 (tiga) kali peringatan tertulis yang disampaikan kepada dokter yang bersangkutan tidak ada perbaikan.
Hampir kebanyakan tuntutan terhadap malpraktek medis terjadinya di rumah sakit. Jika ada tuntutan malpraktek medis, rumah sakit pun pasti akan ikut bertanggungjawab. Bila di rumah sakit pemerintah ada tuntutan dugaan malpraktek medis, maka yang bertanggungjawab adalah pemerintah itu sendiri. Jika rumah sakit swasta yang bertanggungjawab adalah badan hukumnya sebagai pemilik (Yayasan,Perseroan Terbatas, Perkumpulan, dan lain-lain).
Jika dilihat dari segi hukum, tanggung jawab rumah sakit baik dimiliki pemerintah ataupun swasta tanggungjawabnya sama yakni dapat dituntut dan dimintakan ganti rugi apabila terbuktikan adanya kelalaian, baik dari pihak dokter, perawat, bidan ataupun adanya kelalaian di bidang manajemen rumah sakit. Salah satu prinsip organisasi, yaitu prinsip “authority” menentukan bahwa dalam setiap organisasi apa pun, termasuk juga organisasi rumah sakit harus ada pucuk pimpinan tertinggi yang memikul tanggung jawab.[25]
Empat prinsip diatas, merupakan inti hukum alam versi Grotius. Menurutnya hukum alam adalah segala ketentuan yang benar dan baik menurut rasio, tidak mungkin salah, lagi pula adil. Bahkan bagi Grotius kebenaran hukum alam tersebut tidaklah dapat diganggu- gugat. Bahkan tuhan sendiri tidak dapat mengubah kebenaran itu.


[1] Bernard L. Tanya, Yoan N. Simanjuntak, Markus Y. Hage. Teori Hukum Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi.CV. Kita. Surabaya. 2006, hlm 58
[2] Lili Rasjidi. Pengantar Filsafat Hukum, Mondar Maju. Bandung. 2007. hlm. 125
[3] http://news.kantorhukum-lhs.com/malpraktik-vs-uu-kesehatan
[4] Danny Wiradharma. Hukum Kedokteran. Binarupa Aksara, Jakarta. 1996, hlm 64
[5] Azrul Azwar, Kriteria Malpraktik dalam Profesi Kesehatan, Makalah Kongres Nasional IV PERHUKI, Surabaya. 1996
[6] Munir Fuady, Sumpah Hippocrates Aspek Hukum Malpraktik Dokter, Citra Aditya Bakti, Bandung . 2005. hlm.2-3
[7] Adami Chazawi. Malpraktik Kedokteran. Bayumedia, Malang,  2007, hlm 99

[8] Ibid, hlm 112
[9] Alexandra Indriyanti Dewi, Etika Hukum Kesehatan, Pustaka Book Publisher, Yogyakarta, 2008. hlm.267
[10] Y.A. Trianan Ohoiwutun. Bunga Rampai Hukum Kedokteran. Bayumedia. Malang. 2007, hlm. 87
[11] Ibid,hlm. 88
[12] Hendrojono Soewono, Malpraktik Dokter, Srikandi, Surabaya. 2007, hlm.8
[13] Kayus Koyowuan Lewloba.Malpraktek Dalam Pelayanan Kesehatan (MalpraktekMedis). Bina Widya. Jakarta, 2008, hlm. 3
[14] Agus Irianto. Analisis Yuridis Kebijakan Pertanggungjawaban Dokter Dalam Malpraktik. Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret, Surakarta, 2006, hlm. 32
[15]  Adami Chazawi, Op cit, hlm 43
[16] Alexandra Indriyanti Dewi, op.cit, hlm.198-200
[17] Ibid
[18] Ibid, hlm 76
[19] Adami Chazawi, Op cit, hlm 85
[20] Ibid, hlm 45
[21] Ibid, hlm. 48-49
[22] Ibid, hlm. 61
[23] Putusan No. 300/Pdt.G/2009/PN.Tangerang RS.Omni Internasional Melawan Prita Mulyasari
[24] Titik Triwulan Tutik. Perlindungan Hukum Bagi Pasien. Prestasi Pustaka Publiser, Jakarta, 2010, hlm 22
[25] J. Guwandi. Dugaan Malpraktek Medis dan Draft RPP “Perjanjian Terapetik Antara Dokter dan Pasien”.  Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, 2006,
 


[1] Bahder Johan Nasution. Hukum Kesehatan dan Pertanggungjawaban Dokter. PT Rineka Cipta. Jakarta. 2005. hlm 76
[2] http://health.liputan6.com/read/750243/kasus-pidana-dokter-ayu-preseden-buruk-dunia-kedokteran.



1 komentar: