Maraknya tuntutan hukum yang diajukan
masyarakat dewasa ini, menunjukkan berkurangnya kepercayaan masyarakat terhadap
dokter, selain itu sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen memicu masyarakat gemar menuntut, ataupun sebab lain yang
seringkali diidentikkan dengan kegagalan upaya penyembuhan yang dilakukan
dokter. Seseorang yang mengalami ganguan kesehatan pasti mendatangi seorang dokter
untuk mendapatkan penyembuhan penyakit yang dideritanya. Kemudian muncul
hubungan hukum antara dokter dan pasien, yang menimbulkan hak dan kewajiban.
Dalam melaksanakan kewajiban bagi dokter itulah dapat menimbulkan penderitaan
bagi pasien, akibat kelalaian atau kekurang hatian-hatian dokter dalam
menjalankan profesinya. Dikenal dengan istilah malpraktek (malpractice)
medis
dan dapat membebani tanggung jawab hukum terhadap akibat buruk bagi
pasien.
Berbicara mengenai malpraktik atau
malpractice berasal dari kata “mal” yang berarti
buruk. Sedang kata “practice”
berarti suatu tindakan atau praktik. Dengan demikian secara harfiah dapat
diartikan sebagai suatu tindakan medik “buruk” yang dilakukan dokter dalam hubungannya
dengan pasien. Di Indonesia, istilah malpraktik yang sudah sangat
dikenal oleh para tenaga kesehatan sebenarnya hanyalah merupakan suatu bentuk medical
malpractice, yaitu medical negligence yang dalam bahasa Indonesia
disebut kelalaian medik. Menurut Gonzales dalam bukunya Legal
Medical Pathology and Toxicology menyebutkan bahwa malpractice is the
term applied to the wrongful or improper practice of medicine,which
result in injury to the patient.[1]
Kasus-kasus dugaan malpraktek seperti
gunung es, hanya sedikit yang muncul dipermukaan. Diantaranya kasus dugaan
malpraktek yang dilakukan oleh tiga dokter yakni Dewa Ayu Saiary Prawani, Hendry
Simanjuntak dan Hendy Siagian, yang dinilai bersalah melakukan penanganan
pasien sehingga meninggal dunia pada tahun 2010 di Rumah Sakit Malalayang
Manado. Ketiga dokter tersebut dijatuhi hukuman 10 bulan penjara oleh MA
setelah sebelumnya divonis bebas oleh Pengadilan Negeri (PN) Manado, Sulawesi
Utara. [2]
Kasus dokter Ayu ini tidak hanya menjadi peristiwa
dugaan malpraktek semata tetapi akibat hukuman yang dijatuhkan MA ribuan dokter
hampir diseluruh indonesia melakukan aksi demo menuntut kebebasan dokter ayu
yang dianggap telah dikriminalisasi sehingga pelayanan terhadap masyarakat
terganggu akibat tidak ada dokter yang melayani sehingga kita melihat seolah
hukum tidak dapat menyelesaikan masalah.
Maka dalam hal ini kita dapat melihat bahwa hukum itu,
asalnya dari kesadaran manusia sosial dimana msyarakat sebagai pasien dirumah
sakit sekarang ini tidak lagi mau diperlakukan semena-mena oleh dokter yang
mengobatinya namun disisi lain keberanian masyarakat yang sadar akan hukum
menimbulkan gejolak sosial yang dilakukan para dokter berupa penolakan terhadap
hukuman yang mungkin dijatuhkan terhadap seorang dokter maka hukum dibutuhkan
agar setiap orang kembali sebagai manusia sosial yang berbudi seperti pendapat
Hugo Grotius yang menyatakan bahwa kekacauan terjadi semata-mata karena
gesekan-gesekan sosial dalam hidup bersama, utamanya ketika tidak ada aturan
main bersama. Di situ terbuka muncul berbagai pencitraan, entah dalam bentuk
pengambilan hak milik orang lain, ataupun dalam wujud ingkar janji dan lain
sebagainya.
Menurut Hugo Grotius dalam filsafat hukum alamnya
menyatakan bahwa hukum itu merupakan sesuatu yang timbul dari kesadaran
sosialitas masyarakat sehingga hukum merupakan lampiran tambahan dalam
sosiabilitas manusia untuk menjamin agar prinsip-prinsip individu sosial yang
berbudi tetap tegak. Prinsip-prinsip yang dimaksud adalah[1]:
1. Milik orang lain harus dihormati.
Hukum sangat erat hubungannya dengan
keadilan, bahkan ada pendapat bahwa hukum harus digabungkan dengan keadilan,
supaya benar-benar berarti sebagai hukum, kerena memang tujuan hukum itu adalah
tercapainya rasa keadilan pada masyarakat. Setiap hukum yang dilaksanakan ada
tuntutan untuk keadilan, maka hukum tanpa keadilan sia-sia sehingga hukum tidak
lagi berharga di hadapan masyarakat.[2]
Sehingga salah satu bentuk pelaksanaan
agar tercapainya keadilan bagi masyarakat adalah dengan pemerintah dalam hal
ini negara haruslah menyelesaikan kasus-kasus malpraktek yang terjadi terhadap
masyarakat karena dokter dengan jabatannya ketika melakukan malpraktek pada
hakikatnya telah merugikan masyarakat yang menjadi konsumennya serta tidak lagi
menghormati hak milik dari pada pasien yang diobatinya.
Dokter sebagai salah satu komponen utama
pemberi pelayanan kesehatan kepada masyarakat mempunyai peranan yang sangat
penting karena terkait langsung dengan pemberian pelayanan kesehatan dan mutu
pelayanan yang diberikan. Landasan bagi dokter untuk dapat melaksanakan
tindakan medis terhadap orang lain adalah ilmu pengetahuan, teknologi, dan
kompetensi yang dimiliki yang diperoleh melalui pendidikan dan pelatihan.
Pengetahuan yang dimilikinya, harus terus menerus dipertahankan dan
ditingkatkan sesuai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dokter
dengan perangkat keilmuan yang dimilikinya mempunyai karakteristik yang khas.
Kekhasannya terlihat dari pembenaran yang dibenarkan oleh hukum yaitu
diperkenankannya melakukan tindakan medis terhadap tubuh manusia dalam upaya
memelihara dan meningkatkan derajat kemanusiaan dengan mana tubuh pasien
merupakan hak milik pasien yang mesti dijaga tanpa ada kerusakan secara
disengaja maupun karena kelalaian dalam proses pengobatan.[3]
Ada berbagai istilah yang sering
digunakan di Indonesia antara lain, malpraktek, malapraktek, malapraktik,
malpraktik dan sebagainya. Akan tetapi, istilah yang benar menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia Departemen Pendidikan Nasional yang diterbitkan Balai Pustaka
adalah “malapraktik”, sedangkan menurut kamus kedokteran adalah “malapraktek”.
Secara harfiah istilah “malpraktik” artinya praktek yang buruk (bad
practice), praktek yang jelek. Malapraktek adalah praktik kedokteran yang
dilakukan salah, tak tepat, menyalahi Undang Undang, kode etik (Kamus
Kedokteran Indonesia, 2008, 500). Malpraktek adalah pengobatan suatu penyakit
atau perlukaan yang salah kerena ketidaktahuan, kesembronoan atau kesengajaan
kriminal. Istilah malapraktek di dalam hukum kedokteran mengandung arti praktek
dokter yang buruk.[4]
Malpraktik menurut Azrul Azwar memiliki beberapa
arti. Pertama, malpraktik adalah setiap kesalahan profesional
yang diperbuat oleh dokter, oleh karena pada waktu melakukan pekerjaan
profesionalnya, tidak memeriksa, tidak menilai, tidak berbuat atau meninggalkan
hal-hal yang diperiksa, dinilai, diperbuat atau di lakukan oleh dokter pada
umumnya, di dalam situasi dan kondisi yang sama. Kedua, malpraktik adalah
setiap kesalahan yang diperbuat oleh dokter, oleh karena melakukan pekerjaan
kedokteran di bawah standar yang sebenarnya secara rata-rata dan masuk akal, dapat
di lakukan oleh setiap dokter dalam siatuasi atau tempat yang sama. Ketiga,
malpraktik adalah setiap kesalahan profesional diperbuat oleh seorang
dokter, yang di dalamnya termasuk ke-salahan karena perbuatan-perbuatan yang
tidak masuk akal serta kesalahan karena keterampilan ataupun kesetiaan yang
kurang dalam menyelenggarakan kewajiban atau dan atau pun keper-cayaan
profesional yang dimilikinya.[5]
Menurut Munir Fuady, malpraktik memiliki
pengertian yaitu setiap tindakan medis yang dilakukan dokter atau orang-orang
di bawah pengwasannya, atau penyedia jasa kesehatan yang dilakukan terhadap
pasiennya, baik dalam hal diagnosis, terapeutik dan manajemen penyakit yang
dilakukan secara melanggar hukum, kepatutan, kesusilaandan prinsip-prinsip
profesional baik dilakukan dengan sengaja atau karena kurang hati-hatiyang
menyebabkan salah tindak rasa sakit, luka, cacat, kerusakan tubuh, kematian dan
kerugian lainnya yang menyebabkan dokter atau perawat harus bertanggungjawab baik
secara administratif, perdata maupun pidana.[6]
Akibat malpraktek medis yang menjadi
tindak pidana harus berupa akibat yang sesuai dengan yang ditentukan oleh
Undang-Undang. Akibat berupa kematian, luka berat, rasa sakit atau luka yang mendatangkan
penyakit, atau luka yang menghambat tugas dan mata pencaharian dapat membentuk
pertanggungjawaban pidana yang wujudnya bukan sekedar penggantian kerugian
(perdata) saja tetapi boleh jadi pemidanaan.[7]
A.
Kealpaan yang Menyebabkan Kematian
Pasal 359 KUHP selalu
didakwakan terhadap kematian yang diduga disebabkan kesalahan dokter. Pasal 359
merumuskan “barangsiapa karena kesalahannya menyebabkan orang lain mati” disamping
adanya sikap batin culpa seta kalimat “menyebabkan orang
lain mati”, yakni:
a. Harus ada wujud perbuatan;
b. Adanya akibat perbuatan berupa kematian; dan
c. Adanya hubungan kausal antara wujud perbuatan dengan akibat kematian.;
Sikap batin culpa bukan ditujukan pada
perbuatan, tetapi pada akibat kematian. Culpa dapat
dibedakan tiga macam, berdasarkan sudut tingkatannya:
a. Kelalaian yang tidak
disadari, pembuat tidak menyadari bahwa perbutan yang hendak dilakukan dapat
menimbulkan akibat terlarang dalam hukum. Hubungannya dengan pelayanan kesehatan,
dokter tidak mengetahui bahwa perbuatan yang hendak diperbuatnya dapat
mengakibatkan kematian;
b. Kealpaan yang disadari,
adanya kesadaran terhadap timbulnya akibat dari tindakan medis yang hendak
diwujudkan. Dokter meyakini bahwa akibat tersebut tidak akan timbul, namun setelah
tindakan medis dilakukan ternyata akibat tersebut timbul; dan
c. Termasuk dalam kealpaan
yang disadari, telah disadari bahwa akibat bisa timbul, namun yakin tidak akan
timbul. Setelah tindakan dilakukan dan timbul gejala-gejala yang mengarah pada
timbulnya akibat. Telah berbuat yang cukup untuk menghindarinya,
namun kenyataanya setelah tindakan akibatpun timbul. [8]
B.
Kealpaan yang Menyebabkan Luka-Luka
Pasal 360 KUHP lazim digunakan untuk
menuntut dokter atas dugaan malpraktek medis. Pasal 359 digunakan bila menyebabkan
kematian. Dua macam tindak pidana menurut Pasal 360 yakni: (1) “...karena
kesalahannya menyebabkan orang lain mendapat luka berat...” (2) “...karena
kesalahannya menyebabkan orang lain luka-luka sedemikian rupa sehingga timbul
penyakit atau halangan menjalankan pekerjaan jabatan atau pencarian selama waktu
tertentu...”
Dari Ayat (1) dapat dirinci
unsur-unsurnya:
a)
Adanya kelalaian;
b)
Adanya wujud perbuatan;
c)
Adanya akibat luka berat;
d)
Adanya hubungan kausal antara luka berat
dengan wujud perbuatan.
Ayat (2) mengandung unsur-unsur:
e)
Adanya kelalaian;
f)
Adanya wujud perbuatan;
g)
Adanya akibat: luka yang menimbulkan
penyakit; luka yang menjadikan halangan menjalankan pekerjaan jabatan atau
pencaharian selama waktu tertentu;
h)
Adanya hubungan kausal antara perbuatan
dengan akibat.
Kalimat “menyebabkan orang luka”,
mengandung tiga unsur, yakni:
1.
Adanya wujud perbuatan sebagai penyebab;
2.
Adanya akibat orang lain luka;
3.
Adanya hubungan kausal antara wujud
perbuatan dengan
akibat orang lain luka.
Luka adalah perbuatan sedemikian rupa
pada permukaan tubuh sehingga berbeda dengan bentuk semula. Pasal 360 menyebutkan
tiga macam luka, yaitu:
a. Luka berat;
b. Luka yang menimbulkan penyakit;
c. Luka yang menjadikan halangan
menjalankan pekerjaan jabatan atau pencarian selama waktu tertentu.
Pasal 90 menyebutkan macam-macam luka
berat:
a. Jatuh sakit atau mendapat luka yang
tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali, atau yang menimbulkan bahaya
maut;
b. Tidak mampu terus-menrus untuk
menjalankan tugas jabatan atau pekerjaan pencaharian;
c. Kehilangan salah satu pancaindra;
d. Mendapat cacat berat;
e. Menderita sakit lumpuh;
f. Terganggu daya pikir selama empat
minggu lebih;
g. Gugur atau matinya kandungan seorang
perempuan.
Dalam
Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran mengenai perbuatan
yang dapat dipidana antara lain:
1. Melakukan
praktek kedokteran tanpa memiliki Surat Tanda Register
(Pasal
75 ayat (1));
2. Melakukan
Praktek kedokteran tanpa memiliki Surat Ijin Praktek (Pasal 76);
3. Menggunakan
identitas berupa gelar atau bentuk lain yang menimbulkan kesan bagi masyarakat seolah-olah yang
bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi (Pasal 77);
4. Menggunakan
alat, metode atau cara lain dalam memberikan
pelayanan
kepada masyarakat yang menimbulkan kesan seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter atau
dokter gigi (Pasal 78);
5. Tidak
memasang papan nama (Pasal 79 huruf a);
6. Tidak
membuat rekam medis (Pasal 79 huruf b);
7. Tidak
memenuhi kewajiban sesuai dengan ketentuan Pasal 51 (Pasl 79 huruf c), dan;
8. Korporasi
atau perseorangan yang mempekerjakan dokter atau dokter gigi tanpa tidak
memiliki surat tanda registrasi dan ijin praktek (Pasal 80).
Apabila
seseorang pada waktu melakukan perbuatan melawan hukum itu tahu betul
perbuatannya akan berakibat suatu keadaan tertentu yang merugikan pihak lain
dapat dikatakan bahwa pada umumnya seseorang tersebut dapat dipertanggungjawabkan.
Syarat untuk dapat dikatakan bahwa seorang tahu betul hal adanya
keadaan-keadaan yang menyebabkan kemung-kinan akibat itu akan terjadi. Kesalahan
bertindak ini terjadi karena kurangnya ketelitian dokter di dalam melakukan
observasi terhadap pasien sehingga terjadilah hal yang tidak diinginkan
bersama. Ketidaktelitian ini merupakan tindakan yang masuk di dalam kategori tindakan
melawan hukum hukum, sehingga menyebabkan kerugian yang harus ditanggung oleh
pasien.[9]
Sehingga
dalam menghormati hak pasien untuk mendapatkan pelayanan medis terhadap
tubuhnya yang merupakan hak setiap individu maka dokter haruslah memenuhi
berbagai syarat untuk dapat menjalankan profesinya sebagai dokter karena jika
diabaikan maka dokter telah mengabaikan hak dari pasien yang pada akhirnya akan
menimbulkan malpraktek dalam dunia kedokteran.
Lahirnya UU No 29 Tahun 2004 tentang
Praktik Kedokteran mengatur mengenai tata laksana praktik dokter di Indonesia.
Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi seorang dokter, agar berwenang menjalankan
praktik kedokteran, tidak hanya keahlian yang diperoleh dari pendidikan dokter.
Syarat administrasi tersebut antara lain:[10]
a.
Memiliki Surat Tanda Registrasi (STR)
dokter atau dokter gigi yang diterbitkan oleh Konsil Kedokteran Indonesia yang
berlaku 5 tahun dan setiap 5 (lima) tahun di registrasi ulang (Pasal 29);
b.
Dokter lulusan Luar Negeri yang praktik
di Indonesia harus lulus evaluasi. Bagi dokter asing selain lulus evaluasi
harus memiliki izin kerja di Indonesia. Setelah memenuhi syarat lainnya, baru
dokter asing dapat diberikan Surat Tanda Registrasi (STR) (Pasal 30);
c.
Memiliki Surat Izin Praktik (SIP) yang
dikeluarkan oleh pejabat kesehatan yang berwenang di kabupaten atau kota tempat
praktik (Pasal 36 jo 37).
Untuk dokter spesialis, ada Peraturan
Menteri Kesehatan No.561/Menkes/Per/X/1981 tentang Pemberian Izin Menjalankan pekerjaan
dan izin Praktik bagi Dokter Spesialis. Tiga macam surat izin Praktik dokter:[11]
a.
Surat izin dokter (SID) adalah izin yang
dikeluarkan bagi dokter spesialis yang menjalankan pekerjaan sesuai bidang
profesinya di wilayah NKRI.
b.
Surat izin praktik (SIP) adalah izin
yang dikeluarkan bagi dokter spesialis yang menjalankan pekerjaan sesuai dengan
bidang profesinya sebagai swasta perorangan di samping tugas/fungsi lain pada
pemerintah atau unit pelayanan kesehatan swasta.
c.
Surat izin praktik (SIP) perorangan
semata-mata adalah izin yang dikeluarkan bagi dokter spesialis yang menjalankan
pekerjaan sesuai dengan profesinya sebagai swasta perseorangan semata-mata
tanpa tugas pada pemerintah atau unit pelayanan kesehatan swasta.
Masing-masing surat izin dokter dan
surat izin praktik berlaku 5 (lima) tahun dan dapat diperbaharui dengan
mengajukan permohonan kembali. Dengan dipenuhinya syarat administrasi dokter berwenang
melakukan pelayanan medis karena dimilikinya SIP, SID, STR.
2.
Kesetiaan
pada janji (Kontrak harus dihormati)
Tidak
mengherankan jika banyak putusan profesi dokter yang menyatakan tidak ada malpraktik
yang dilakukan dokter seringkali ditanggapi secara sinis oleh pengacara.
Menyadari munculnya perbedaan pendapat ini yang seharusnya tidak perlu terjadi,
perlu dicari solusi untuk menghilangkannya. Salah satu cara adalah dengan
merumuskan bersama mengenai pengertian tentang apa yang dimaksud dengan malpraktik
tersebut. Di samping itu perlu pula dicari kriteria mengenai batasan
kewenangan dokter dalam melakukan profesinya, baik batasan secara hukum, moral,
etik maupun disiplin (segi profesi), sehingga bila seorang dokter dalam melaksanakan
tugas profesinya sudah memenuhi semua persyaratan yang telah ditentukan, sungguh
pun ada pihak yang merasa dirugikan atas tindakan dokter, masyarakat tidak
dengan seenaknya mengatakan bahwa dokter telah melakukan malpraktik.[12]
Malpraktek
medis selain dapat dituntut secara pidana juga dapat dituntut secara perdata
dalam bentuk pembayaran ganti rugi. Dasar hukum malpraktek perdata atau sipil
adalah transaksi atau kontrak terapeutik antara dokter dengan pasien yaitu
hubungan dokter dengan pasien, dimana dokter bersedia memberikan pengobatan
atau perawatan medis kepada pasien dan pasien bersedia membayar sejumlah
imbalan kepada dokter. [13]
Tanggungjawab di bidang hukum perdata dapat
ditemukan dalam setiap pelayanan kesehatan. Hal ini dapat dipahami karena dalam
setiap pelayanan kesehatan selalu terjadi hubungan antara dua pihak sebagai
subyek hukum, dimana masing-masing pihak memiliki hak dan kewajiban yang sama.
Maksud dengan dua pihak disini adalah dokter dengan pasien. Hubungan antara
dokter dengan pasien diatur dalam suatu perjanjian yang syaratnya harus dipenuhi
secara umum sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 BW. Hubungan dokter dengan pasien
dalam hal perawatan kesehatan ini lazim disebut sebagai transaksi terapeutik.
Dalam transaksi terapeutik ini dokter berkewajiban memberikan pelayanan
sebaik mungkin sesuai dengan standar profesi (medik) yang telah di tentukan
oleh undang-undang.
Pengertian Perjanjian terapeutik adalah perjanjian antara dokter dengan
pasien yang memberikan kewenangan kepada dokter untuk melakukan kegiatan
memberikan pelayanan kesehatan kepada pasien berdasarkan keahlian dan
keterampilan yang dimiliki oleh dokter tersebut.
Dalam
Mukadimah Kode Etik Kedokteran Indonesia tertuang dalam Keputusan Menteri
Kesehatan RI Nomor 434 /Men.Kes /X / 1983 tentang Berlakunya Kode Etik
Kedokteran Indonesia Bagi Para Dokter di Indonesia, mencantumkan tentang
perjanjian terapeutik sebagai berikut:
“Yang dimaksud perjanjian terapeutik adalah
hubungan antara dokter dengan pasien dan penderita yang dilakukan dalam suasana
saling percaya (konfidensial), serta senantiasa diliputi oleh segala emosi,
harapan dan kekhawatiran makhluk insani”
Pengertian
transaksi terapeutik ada beberapa definisi dari sarjana, yaitu :
1.
H.H. Koeswadji :
Transaksi
terapeutik adalah perjanjian (Verbintenis) untuk mencari atau menentukan
terapi yang paling tepat bagi pasien oleh dokter.
2.
Veronica Komalawati :
Transaksi
terapeutik adalah hubungan hukum antara dokter dan pasien dalam pelayanan medis
secara professional, didasarkan kompetensi yang sesuai dengan keahlian dan
ketrampilan tertentu di bidang kedokteran.[14]
Disamping melahirkan hak dan kewajiban,
hubungan dokter dan pasien juga membentuk pertanggungjawaban hukum. Bagi pihak dokter,
prestasi berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu dalam perlakuan medis yang
ditujukan bagi kepentingan kesehatan pasien adalah kewajiban hukum yang sangat
mendasar dalam kontrak terapeutik. Dipandang dari sudut hukum perdata,
malpraktek medis terjadi bila perlakuan salah yang dilakukan oleh dokter dalam
hubungannya dengan pemberian pelayanan medis kepada pasien menimbulkan kerugian
perdata. Kerugian kesehatan fisik, jiwa, maupun nyawa pasien akibat salah
perlakuan oleh dokter merupakan unsur penting timbulnya malpraktek medis.
Dengan timbulnya akibat hukum kerugian
perdata terbentuklah pertanggung jawaban hukum perdata bagi dokter terhadap kerugian
yang timbul. Hubungan hukum dokter dan pasien timbul berdasarkan kesepakatan
dan Undang-undang. Perikatan karena kesepakatan membawa suatu keadaan
wanprestasi, sedangkan pelanggaran hukum dokter atas kewajiban hukum dokter
karena undang-undang disebut perbuatan melawan hukum (onrechmatigedaad) dalam
Pasal 1365 KUHPerdata. Selain pelanggaran hukum karena kesepakatan, dapat pula terjadi
pelanggaran kewajiban hukum karena UU yang disebut Zaakwaarneming. Zaakwaarneming adalah
melakukan sesuatu dengan diam-diam dan sukarela bagi kepentingan orang lain
tanpa persetujuan dan sepengetahuannya menimbulkan kewajiban pelaksanaan dengan
sebaik-baiknya sehingga melahirkan tanggungjawab terhadap akibat yang timbul
apabila ada kesalahan dalam pelaksanaan sesuatu tersebut (Pasal 1354 BW). [15]
3. Harus ada ganti rugi untuk setiap
kerugian yang diderita
Doktrin
adalah pendapat para ahli hukum dan landasan penggunaan doktrin yaitu asas hukum
yang mengedepankan communis opinio doctorum atau seseorang tidak boleh
menyimpang dari pendapat umum para sarjana atau ahli hukum. Doktrin yang
berlaku di dalam ilmu kesehatan yaitu Res Ipsa Loquitur artinya doktrin
yang memihak pada korban. Pembuktian dalam hukum acara perdata yang menentukan
bahwa pihak korban dari suatu perbuatan melawan hukum dalam bentuk kelalaian tidak
perlu membuktikan adanya unsur kelalaian tersebut, cukup menunjukkan faktanya. Tujuannya
adalah untuk mencapai keadilan. Doktrin ini biasanya digunakan di dalam kasus-kasus
malpraktik kedokteran.[16]
Syarat berlakunya Res Ipsa Loquitur adalah,
pertama, kejadian tersebut tidak biasanya terjadi; kedua,
kerugian tersebut tidak ditimbulkan pihak ketiga; ketiga, instrumen yang
di gunakan di dalam pengawasan pelaku tindakan; dan keempat, bukan
kesalahan korban. Doktrin ini dirasa lebih memberikan kedilan pada pasien,
mengingat pasien adalah orang awam bidang ilmu kedokteran. Sangatlah bertentangan
dengan asas keadilan jika pasien yang menjadi korban suatu tindakan kelalaian, masih
harus membuktikan terjadinya kelalaian. Padahal pasien sama sekali tidak tahu
proses bagaimana kelalaian tersebut terjadi, karena ia telah mempercayakan
hidup dan kesehatannya pada dokter yang dianggap lebih ahli. Untuk itu beban
pembuktian ini oleh doktrin Res Ipsa Loquitur dibebankan kepada
petugas medis yang dianggap lebih tahu proses dan standar yang digunakan di
dalam melakukan tindakan medis tersebut. Pasien tidak perlu membuktikan/membeberkan
proses terjadinya kelalaian, cukup memperlihatkan akibat yang dideritanya saja.
Dengan demikian, doktrin Res Ipsa Loquitur sebenarnya merupakan semacam
bukti sirkum-tansial (circumstantial evidence), yakni suatu bukti
tentang suatu fakta dimana faktafaktanya dapat digunakan untuk menarik kesimpulan.[17]
Dalam
sistem hukum Indonesia yang salah satu komponennya merupakan satu hukum substantif,
diantara hukum positif yang berlaku tidak dikenal adanya istilah malpraktik,
baik dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 tentang kesehatan maupun dalam
Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Memperhatikan
Undang-Undang No 23 Tahun 1992 khususnya pada Pasal 54 dan 55 disebut sebagai
kesalahan atau kelalaian dokter. Sedangkan pada Undang-Undang No. 29 Tahun 2004,
khususnya pada Pasal 84 dikatakan sebagai pelanggaran disiplin dokter. Pegangan
pokok yang dipakai untuk menetapkan adanya malpraktik cukup jelas yakni adanya
kesalahan profesional yang dilakukan oleh seorang dokter pada waktu melakukan perawatan
dan ada pihak lain yang dirugikan atas tindakan dokter tersebut. Kenyataannya ternyata
tidak mudah untuk menetapkan kapan adanya kesalahan profesional tersebut.
Bila terjadi penyimpangan dalam
ketentuan pelayanan kesehatan, pasien dapat menuntut haknya yang dilanggar oleh
pihak penyedia jasa kesehatan dalam hal ini rumah sakit dan dokter/tenaga
kesehatan. Dokter/tenaga kesehatan dan rumah sakit dapat dimintakan tanggung jawab
hukum, apabila melakukan kelalaian atau kesalahan yang menimbulkan kerugian
bagi pasien sebagai konsumen. Pasien dapat menggugat tanggung jawab hukum
kedokteran (medical
liability), dalam hal dokter tersebut berbuat
kesalahan/kelalaian. Dokter tidak dapat berlindung dengan dalih perbuatan yang
tidak sengaja, sebab kesalahan/kelalaian dokter yang menimbulkan kerugian
terhadap pasien menimbulkan hak bagi pasien untuk menggugat ganti rugi.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992
tentang Kesehatan memberikan perlindungan hukum, baik kepada pasien sebagai konsumen
dan produsen jasa pelayanan kesehatan diantaranya Pasal 53, 54, dan 55 UU No 23
Tahun 1992. Jika terjadi sengketa dalam pelayanan kesehatan, untuk
menyelesaikan perselisihan harus mengacu pada UU No 23 Tahun 1992 dan UUPK
serta prosesnya melalui lembaga perdilan, mediasi. Dalam hal terjadi sengketa antara
produsen jasa pelayanan kesehatan dengan konsumen jasa pelayanan, tersedia 2
jalur, yaitu jalur litigasi dan jalur non litigasi yaitu penyelesaian sengketa
melalui peradilan. Proses penyelesaian dari peselisihan atau kelalaian kesehatan
dapat dilakukan di luar pengadilan dan di pengadilan berdasarkan kesepakatan
para pihak yang berselisih. Penyelesaian yang paling sering dilakukan adalah
melalui mediasi di luar pengadilan dengan sistem Alternative Dispute Resolution (ADR).[18]
Seorang dokter baru dihadapkan ke
pengadilan bila sudah timbul kerugian bagi pasien. Kerugian ini timbul akibat
pelanggaran kewajiban di mana sebelumnya telah dibuat suatu persetujuan.
Standar pelayanan medis dibuat berdasarkan hak dan kewajiban dokter, baik yang
diatur kode etik maupun yang diatur perundang-undangan. Dengan diundangkannya
Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan, ancaman pidana terhadap
kesalahan atau kelalaian yang dilakukan oleh dokter yang mengakibatkan pasien
menderita cacat atau luka-luka, tidak lagi semata-mata mengacu pada ketentuan Pasal
359, 360, dan 361 KUHP, karena dalam Undang-Undang kesehatan telah dirumuskan
ancaman pidananya. Ancaman tersebut dimuat dalam pasal 82 Undang-Undang No 23
Tahun 1992 tentang kesehatan pada ayat (1) huruf (a) disebutkan “barang siapa
yang tanpa keahlian dan kewenangan dengan sengaja melakukan pengobatan atau perawatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (4) “dipidana dengan pidana penjara
paling lama lima tahun dan atau pidana denda paling banyak seratus juta rupiah”
Malpraktek
medis selain dapat dituntut secara pidana juga dapat dituntut secara perdata
dalam bentuk pembayaran ganti rugi. Dalam pelayanan kesehatan, bila pasien atau
keluarganya menganggap bahwa dokter telah melakukan perbuatan melawan hukum, pasien
atau keluarganya dapat mengajukan tuntutan ganti rugi dengan ketentuan Pasal 55
Undang-Undang No 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan.
Dua
kemungkinan yang dapat dipakai untuk dijadikan sebagai dasar yuridis gugatan
malpraktek medis yaitu:[19]
1.
Gugatan berdasarkan adanya wanprestasi terhadap suatu kontrak;
Pertanggungjawaban dokter akibat malpraktek medis karena wanprestasi
lebih luas dari pertangggungjawaban karena perbuatan melawan hukum. Hal
tersebut berdasar Pasal 1236 jo 1239 KUHPerdata, selain penggantian kerugian,
pasien juga dapat menuntut biaya dan bunga.
Wanprestasi dalam pelayanan medis timbul
karena tindakan seorang dokter berupa pemberian jasa perawatan yang tidak patut
sesuai dengan apa yang diperjanjikan. Perawatan yang tidak patut dapat berupa
tindakan kekurang hati-hatian, atau akibat kelalaian dari dokter yang
bersangkutan sehingga menyalahi tujuan terapeutik.
Wanprestasi dalam pelayanan medis
terjadi, bila memenuhi unsur:
a.
Hubungan dokter dengan pasien terjadi
berdasarkan kontrak terapeutik;
b.
Dokter telah memberikan pelayanan
kesehatan yang tidak patut yang menyalahi tujuan kontrak terapeutik;
c.
Pasien menderita kerugian akibat
tindakan dokter yang bersangkutan.
Hubungan hukum antara dokter dan pasien, dilandasi sikap saling
percaya antara kedua belah pihak. Kesembuhan merupakan tujuan akhir kontrak
terapeutik tetapi bukan objek kewajiban dokter yang dapat dituntut oleh pasien.
Kewajiban pokok seorang dokter adalah inspanning, yakni suatu usaha keras dari dokter yang harus dijalankan untuk
menyembuhkan kesehatan pasien. [20]
Pasien yang tidak sembuh tidak dapat
dijadikan alasan wanprestasi bagi dokter selama perlakuan medis yang dilakukan
tidak menyimpang dari standar profesi, karena hubungan hukum pasien dan dokter
bukan hubungan yang menuntut pada hasil pelayanan medis,melainkan kewajiban
untuk memberikan perlakuan medis sebaikbaiknya dimana dokter tidak mampu
menjamin hasil akhir.
Hasil dari perlakuan penyembuhan,
pemulihan, atau pemeliharaan kesehatan pasien tidak menjadi kewajiban hukum
bagi dokter, melainkan suatu kewajiban moral belaka akibatnya bukan sanksi
hukum tetapi sanksi moral dan sosial. Sepanjang perlakuan medis terhadap pasien
dilakukan sesuai standar profesi dan standar prosedur operasional meskipun
tanpa hasil penyembuhan yang diharapkan tidak melahirkan malpraktek medis dari
sudut hukum.
Perlakuan medis dokter yang menyalahi
standar profesi maka dokter dianggap melakukan malpraktek medis. Dengan syarat,
tidak sembuh atau lebih parah penyakit dari pasien setelah mendapat perlakuan
medis dari sudut standar profesi. Jika hal tersebut merupakan akibat langsung
dari salah perlakuan medis oleh dokter melahirkan malpraktek medis, pasien
berhak menuntut ganti kerugian atas kesalahan perlakuan medis tersebut.
Pelayanan medis dengan resiko tinggi
wajib dibuat dalam bentuk tertulis untuk dimintakan persetujuan (informed consent).
Tujuannya untuk membebaskan risiko hukum bagi timbulnya akibat yang tidak
dikehendaki.
Bentuk wanprestasi dokter dalam
pelayanan medis yaitu:[21]
a.
Tidak memberikan pelayanan kesehatan
sama sekali seperti yang diperjanjikan;
b.
Memberikan pelayanan kesehatan tidak
sebagaimana mestinya,tidak sesuai kualitas
dan kuantitas dengan yang diperjanjikan;
c.
Memberikan pelayanan kesehatan tetapi
terlambat tidak tepat waktu sebagaimana telah diperjanjikan;
d.
Memberikan pelayanan kesehatan lain dari
pada yang diperjanjikan semula.
Setiap wanprestasi terkandung aspek
kerugian bagi pihak lain. Unsur kerugian terdapat dalam kalimat “penggantian
biaya, rugi dan bunga”. Akibat kerugian pasien ini menjadi pangkal penilaian
terhadap ada atau tidaknya malpraktek medis. Setelah terbukti adanya kerugian, kemudian
dilihat bagaimana wujud perlakuan medis yang dilakukan oleh dokter. Wujud
kerugian akibat wanprestasi berupa kerugian materiil yang dapat diukur dengan
nilai uang, terutama biaya perawatan, biaya perjalanan dan biaya obat-obatan
dengan syarat kerugian ini harus dapat dibuktikan.
2. Gugatan
berdasarkan perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad)
Tercantum dalam bunyi Pasal 1365 KUHPerdata:
“Tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada orang
lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menimbulkan kerugian itu untuk
mengganti kerugian tersebut”.
Dari bunyi pasal tersebut, diartikan bila perlakuan medis dokter menyimpang
dari standar profesi dan menimbulkan kerugian pasien termasuk kategori
perbuatan melawan hukum. Kerugian harus benar
diakibatkan perlakuan medis yang salah dan harus dapat dibuktikan baik dari
sudut ilmu hukum maupun ilmu kedokteran.
Malpraktek medis yang telah masuk
lapangan hukum pidana atau menjadi kejahatan sekaligus merupakan perbuatan
melawan hukum yang dapat dituntut pertanggungjawaban perdata terhadap kerugian
yang ditimbulkan melalui pasal 1365 jo 1370 dan 1371 KUHPerdata. Indikator
malpraktek medis masuk dalam perbuatan melawan hukum, yaitu malpraktek medis
telah masuk ke ranah hukum pidana otomatis termasuk perbuatan melawan hukum.
Dasar hukum kedua untuk melakukan
gugatan adalah perbuatan melawan hukum. Jika terdapat fakta-fakta yang berwujud
suatu perbuatan melawan hukum, walaupun di antara pihak-pihak tidak terdapat
suatu perjanjian. Untuk mengajukan gugatan harus dipenuhi 4 (empat) syarat
sebagaimana diatur dalam pasal 1365 KUHPerdata:
a.
Pasien harus mengalami kerugian;
b.
Ada kesalahan;
c.
Ada hubungan kausal anatara kesalahan
dengan kerugian; dan
d.
Perbuatan itu melawan hukum.
Perbuatan melawan hukum adalah perbuatan
aktif maupun pasif yang dilakukan baik sengaja maupun kealpaan yang
bertentangan dengan hak orang lain, dengan kewajiban hukumnya sendiri dengan nilai-nilai
kesusilaan yang harus diindahkan dalam pergaulan masyarakat. Mencakup pula
syarat untuk menuntut ganti kerugian oleh perbuatan melawan hukum yakni harus
ada perbuatan dan sifat melawan hukum. [22]
Empat syarat yang harus dipenuhi untuk
menuntut kerugian adanya perbuatan melawan hukum:
a.
Adanya perbuatan yang termasuk
kualifikasi perbuatan melawan hukum;
b.
Adanya kesalahan si pembuat;
c.
Adanya akibat kerugian;
d. Adanya
hubungan perbuatan dengan akibat kerugian orang lain.
Setiap
wanprestasi terkandung aspek kerugian bagi pihak lain. Unsur kerugian terdapat
dalam kalimat “penggantian biaya, rugi dan bunga”. Akibat kerugian pasien ini
menjadi pangkal penilaian terhadap ada atau tidaknya malpraktek medis. Setelah
terbukti adanya kerugian, kemudian dilihat bagaimana wujud perlakuan medis yang
dilakukan oleh dokter. Wujud kerugian
akibat wanprestasi berupa kerugian materiil yang dapat diukur dengan nilai
uang, terutama biaya perawatan, biaya perjalanan dan biaya obat-obatan dengan
syarat kerugian ini harus dapat dibuktikan.
4.
Harus ada hukuman untuk setiap pelanggaran
Penilaian
mengenai sejauh mana tindakan dokter jika terjadi kesalahan atau kelalaian
dalam perawatan atau pelayanan kesehatan dapat dilihat dari dua sisi, pertama
dinilai dari sudut etik dan dari sudut hukum. Dari segi etika profesi, dengan
memilih profesi di bidang kesehatan sudah disyaratkan adanya kecermatan yang
tinggi termasuk berbagai ketentuan yang berlaku bagi dokter. Dengan tidak mematuhi
peraturan itu saja sudah dianggap telah berbuat kesalahan.
Kritik masyarakat terhadap profesi
kedokteran di Indonesia akhir-akhir ini makin sering muncul di berbagai media,
baik media cetak maupun elektronik. Dunia kedokteran yang dahulu seakan tak
terjangkau oleh hukum, dengan berkembangnya kesadaran masyarakat akan kebutuhan
tentang perlindungan hukum yang merupakan hak dasar sosial (the right to
health care) dan hak individu (the right of self determination),
menjadikan dunia pengobatan bukan saja sebagai hubungan keperdataan, bahkan
sering berkembang menjadi persoalan pidana. Banyak persoalan malpraktik atas
kesadaran hukum msyarakat diangkat menjadi masalah perdata. Misalnya kasus
Prita Mulyasari, dimana Prita pada awalnya berobat ke RS. Omni Internasional
tentang keluhan yang di rasa. Dari hasil tes laboratorium menunjukan positif
demam berdarah (keluhan panas tiga hari, sakit kepala berat, mual, muntah,
lemas, sakit tenggorokan dan tidak ada nafsu makan). Namun setelah diminta
hasil tesnya, terjadilah awal sengketa, karena antara hasil tes dan diagnosa tidak
sesuai. Prita dimenangkan karena dukungan masyarakat dengan “Koin Prita” yang
hampir setiap hari diberitakan dalam media cetak dan elektronik.[23]
Kelemahan sistem hukum kesehatan di
Indonesia karena Indonesia belum memiliki hukum normatif (Undang-Undang)
tentang malpraktek medis sehingga pengaturan dan ketentuan yuridis bila terjadi
malpraktek tidak ada. Permasalahan lain yakni, kesediaan dokter yang dijadikan
saksi ahli dalam suatu kasus dugaan malpraktek karena diantara dokter itu
sendiri terdapat perlindungan korps dan saling berusaha untuk tidak membeberkan
kesalahan dokter lainnya. Namun, tidak berarti upaya-upaya hukum untuk menuntut
hak pasien berkaitan dengan kasus malpraktek selamanya akan gagal. Pasien
dengan bekal pembuktian yang kuat dan bila dokter benar-benar terbukti
melakukan malpraktek, pasti hak pasien akan diterima kembali. Oleh karena itu,
pasien yang merasa memiliki keluhan atas pelayanan medis yang diterimanya di
institusi kesehatan, harus mengumpulkan informasi sebanyak mungkin agar upaya
menuntut keadilan atas haknya tidak sia-sia.
Meskipun begitu hukum pidana mengenal
adanya alasan penghapus pidana dalam pelayanan kesehatan, yaitu: alasan
pembenar dan alasan pemaaf. Namun tidak serta merta alasan pemenar dan pemaaf
tersebut menghapuskan suatu tindak pidana bagi profesi dokter. Persetujuan (informed consent) sebagai
peniadaan pidana. Tidak berarti bahwa bagi profesi dokter dibebaskan dari
segala tanggung jawab pidana, sebab alasan pembenar dan pemaaf bagi tindakan
dokter, hanya terdapat pengecualian tertentu seperti dalam Pasal 15
Undang-Undang No 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan. Tenaga kesehatan dibenarkan melakukan
abortus berdasarkan
indikasi medis untuk menyelamatkan ibu hamil. Alasan penghapus pidana bagi
tindakan yang dilakukan oleh dokter, yaitu alasan penghapus pidana yang berada
di luar undang-undang. Bagi setiap dokter yang melakukan perawatan, jika
terjadi penyimpangan terhadap suatu kaidah pidana, sepanjang doker yang bersangkutan
melakukannya dengan memenuhi standar profesi dan standar kehati-hatian, dokter
tersebut masih tetap dianggap telah melakukan peristiwa pidana, hanya saja
kepadaanya tidak dikenakan suatu tindak pidana.
Seorang dokter baru dihadapkan ke pengadilan bila sudah timbul kerugian
bagi pasien. Kerugian ini timbul akibat pelanggaran kewajiban di mana
sebelumnya telah dibuat suatu persetujuan. Standar pelayanan medis dibuat
berdasarkan hak dan kewajiban dokter, baik yang diatur kode etik maupun yang
diatur perundang-undangan. Dengan diundangkannya Undang-Undang No. 23 Tahun
1992 Tentang Kesehatan, ancaman pidana terhadap kesalahan atau kelalaian yang
dilakukan oleh dokter yang mengakibatkan pasien menderita cacat atau luka-luka,
tidak lagi semata-mata mengacu pada ketentuan Pasal 359, 360, dan 361 KUHP,
karena dalam Undang-Undang kesehatan telah dirumuskan ancaman pidananya.
Ancaman tersebut dimuat dalam pasal 82 Undang-Undang No 23 Tahun 1992 tentang kesehatan
pada ayat (1) huruf (a) disebutkan “barang siapa yang tanpa keahlian dan
kewenangan dengan sengaja melakukan pengobatan atau perawatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 32 ayat (4) “dipidana dengan pidana penjara paling lama
lima tahun dan atau pidana denda paling banyak seratus juta rupiah”[24]
Pertanggungjawaban seorang dokter yang
diduga melakukan malpraktek atau kelalaian medis maka langkah pertama yang dilakukan
adalah dokter diperiksa dan diputuskan oleh Majelis Kehormatan Etika Kedokteran
(MKEK), dengan memberi sanksi antara lain sebagai berikut:
a.
Peringatan lisan
b.
Peringatan tertulis
c.
Pemecatan sementara sebagai anggota IDI
yang diikuti dengan mengajukan secara tertulis kepada kepala dinas kesehatan
kabupaten/kotamadya untuk mencabut ijin praktek selama: 3 (tiga) bulan untuk
pelanggaran ringan, 6 (enam) bulan untuk pelanggaran sedang, 12 (dua belas)
bulan untuk pelanggaran berat dan dilakukan pemecatan tetap apabila 3 (tiga)
kali peringatan lisan, yang dilanjutkan 3 (tiga) kali peringatan tertulis yang
disampaikan kepada dokter yang bersangkutan tidak ada perbaikan.
Hampir kebanyakan tuntutan terhadap
malpraktek medis terjadinya di rumah sakit. Jika ada tuntutan malpraktek medis,
rumah sakit pun pasti akan ikut bertanggungjawab. Bila di rumah sakit
pemerintah ada tuntutan dugaan malpraktek medis, maka yang bertanggungjawab adalah
pemerintah itu sendiri. Jika rumah sakit swasta yang bertanggungjawab adalah
badan hukumnya sebagai pemilik (Yayasan,Perseroan Terbatas, Perkumpulan, dan
lain-lain).
Jika dilihat dari segi hukum, tanggung
jawab rumah sakit baik dimiliki pemerintah ataupun swasta tanggungjawabnya sama
yakni dapat dituntut dan dimintakan ganti rugi apabila terbuktikan adanya kelalaian,
baik dari pihak dokter, perawat, bidan ataupun adanya kelalaian di bidang
manajemen rumah sakit. Salah satu prinsip organisasi, yaitu prinsip “authority”
menentukan bahwa dalam setiap organisasi apa pun, termasuk juga organisasi
rumah sakit harus ada pucuk pimpinan tertinggi yang memikul tanggung jawab.[25]
Empat prinsip diatas, merupakan inti hukum alam versi Grotius.
Menurutnya hukum alam adalah segala ketentuan yang benar dan baik menurut
rasio, tidak mungkin salah, lagi pula adil. Bahkan bagi Grotius kebenaran hukum
alam tersebut tidaklah dapat diganggu- gugat. Bahkan tuhan sendiri tidak dapat
mengubah kebenaran itu.
[1]
Bernard L. Tanya, Yoan N.
Simanjuntak, Markus Y. Hage. Teori Hukum
Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi.CV. Kita. Surabaya. 2006,
hlm 58
[2] Lili Rasjidi. Pengantar Filsafat Hukum, Mondar Maju.
Bandung. 2007. hlm. 125
[3]
http://news.kantorhukum-lhs.com/malpraktik-vs-uu-kesehatan
[4] Danny Wiradharma. Hukum
Kedokteran. Binarupa Aksara, Jakarta. 1996, hlm 64
[5] Azrul Azwar, Kriteria
Malpraktik dalam Profesi Kesehatan, Makalah Kongres Nasional IV PERHUKI, Surabaya.
1996
[6] Munir Fuady, Sumpah
Hippocrates Aspek Hukum Malpraktik Dokter, Citra Aditya Bakti, Bandung .
2005. hlm.2-3
[8] Ibid, hlm 112
[9] Alexandra
Indriyanti Dewi, Etika Hukum Kesehatan, Pustaka Book Publisher,
Yogyakarta, 2008. hlm.267
[10] Y.A. Trianan
Ohoiwutun. Bunga Rampai Hukum Kedokteran. Bayumedia. Malang. 2007, hlm.
87
[11] Ibid,hlm. 88
[12] Hendrojono
Soewono, Malpraktik Dokter, Srikandi, Surabaya. 2007, hlm.8
[13]
Kayus Koyowuan
Lewloba.Malpraktek Dalam Pelayanan
Kesehatan (MalpraktekMedis). Bina Widya. Jakarta, 2008, hlm.
3
[14]
Agus Irianto. Analisis Yuridis Kebijakan Pertanggungjawaban Dokter Dalam
Malpraktik.
Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret, Surakarta, 2006, hlm. 32
[16] Alexandra Indriyanti Dewi, op.cit,
hlm.198-200
[17]
Ibid
[18] Ibid, hlm 76
[19] Adami Chazawi, Op cit, hlm 85
[20] Ibid, hlm 45
[21] Ibid, hlm. 48-49
[22] Ibid, hlm. 61
[23] Putusan No.
300/Pdt.G/2009/PN.Tangerang RS.Omni Internasional Melawan Prita Mulyasari
[24] Titik Triwulan
Tutik. Perlindungan Hukum Bagi Pasien. Prestasi Pustaka Publiser,
Jakarta, 2010, hlm 22
[25] J. Guwandi. Dugaan
Malpraktek Medis dan Draft RPP “Perjanjian Terapetik Antara Dokter dan Pasien”.
Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, Jakarta, 2006,
[1]
Bahder Johan Nasution. Hukum Kesehatan dan Pertanggungjawaban Dokter. PT Rineka Cipta. Jakarta. 2005.
hlm 76
[2]
http://health.liputan6.com/read/750243/kasus-pidana-dokter-ayu-preseden-buruk-dunia-kedokteran.
Analisis yang kritis....
BalasHapus